Kamis, 28 Februari 2008

Tadi Dia Tersenyum

(Sebuah Cerita - 1)

Aku memulai catatan ini dengan penuh semangat dan pikiran yang cukup tenang. Yang jelas aku dalam good mood, karena aku tadi melihatnya tersenyum; penuh arti.

Sore itu, seperti biasa aku menuggunya pulang lewat depan kantorku. Sebelumnya aku sudah cukup pesimis untuk tidak berniat menyapa dia. Tapi aku tidak tahan untuk tidak melihat wajahnya barang sekilas. Kusambar koran di meja, lalu aku mengambil kursi untuk duduk tepat di ambang pintu menunggunya.

Belum sempat aku mulai membaca, dari celah pintu aku melihatnya berjalan. Aku terlonjak. Kudekati dia dan kulemparkan senyum kepadanya. Yang jelas aku berusaha untuk tampak biasa. Dia memandang ke arahku. Puji Tuhan! Dia tersenyum juga, terasa sampai ke lubuk hatiku. Terasa indah dan menyenangkan karena sebelumnya aku sudah merasa hubunganku dengan dia sudah cukup kerontang. Sebenarnya aku mulai kehilangan harapan (walau aku akan terus berusaha agar jangan sampai harapanku hilang sama sekali).

Secara pelan aku mengatakan ingin barang sedikit berbicara dengan dirinya. Bagiku yang terpenting bukan bicara tentang ini, itu atau apapun yang bikin pikiran capek. Sekedar duduk di sebelahnya aku sudah cukup bahagia. Aku sendiri tidak yakin dia mendengar apa yang aku katakan. Itu terbukti dari sikapnya yang agak mengacuhkanku. :-(

Tapi aku tidak peduli. Aku telah mendapatkannya tersenyum. Senyum yang penuh arti dan cukup membuatku merasa senang. Kuiringi dia sebentar berjalan menuju mess tempatnya tinggal. Aku juga tidak ingin memaksanya untuk memberikanku sedikit waktu untuk berbicara. Jadi, kubiarkan saja dia pulang. Kupandangi terus hingga dia menghilang masuk ke dalam tempat tinggalnya.

Aku segera kembali ke pekerjaanku. Akan tetapi di pikiranku tergambar dengan nyata senyumannya barusan. Aku mengartikan senyuman itu sebagai 'benar-benar' senyuman hatinya untukku. Jadi aku merasa cukup untuk tidak berlama-lama dengannya. Cukup satu senyumannya itu. Hatiku pun jadi lebih tenang dibandingkan siang tadi. :-) :-))

Aku sempat mengiriminya beberapa pesan pendek. Dalam beberapa waktu tidak ada balesan (aku anggap belum sempat) . Aku tidak peduli. Lagian sempat ada kawan yang datang. Aku dan kawanku itu sempat ngobrol beberapa menit sebelum kemudian dia meneruskan perjalanan pulangnya.

Kuputuskan untuk menulis keindahan yang baru kurasakan dalam catatan ini. Penuh semangat!

Beberapa huruf aku ketikkan, aku mendengar ada pintu terbuka. Suara pintu yang cukup kukenal. Sontak aku kembali terlonjak. Aku berlari keluar dan memang kudapati dia telah keluar dengan dandanan barunya. Anggun. Penuh tanda tanya, segala perasaanku barusan langsung musnah. Kutanyakan kepadanya mau kemana. "Mau pergi", jawabnya. Kutanya lagi, "sama siapa?" (aku sebenarnya merasa tidak berhak bertanya seperti ini). "Sama temen!".

Aku langsung paham. Dalam waktu singkat segala perasaan dalam diriku berubah.

Inilah salah satu kehebatan Tuhan.

Note: Gambar diambil dari sini..., dengan sedikit pengeditan.

Rabu, 13 Februari 2008

Mencintai


Sebagai remaja, ataupun anak muda kamu pasti pernah mengalami yang namanya jatuh cinta. Iya, kan?! Berjuta perasaan senang dan bahagia melambungkan harapan. Terbayang selalu bahagia apabila berada di dekat dia yang kita cintai. Pada malam hari, hanya perasaan syahdu penuh kerinduan yang selalu menyelimuti hati. Bagaikan gelombang besar yang sanggup membawa kita kepada keabadian cinta dan kebahagiaan.

Tapi tidak jarang impian cinta tersebut menjadi sia-sia dan penuh kehampaan. Demikian apabila cinta yang kita rasakan ternyata bertepuk sebelah tangan. Lebih-lebih apabila cinta telah bersambut dan kita telah berusaha menjalin asa bahagia. Kegagalan yang kemudian terjadi menimbulkan perasaan hancur, sakit, marah, lelah, kecewa, jenuh, keinginan untuk meluapkan segala macam emosi bahkan mungkin keinginan untuk bunuh diri bisa aja muncul.

"Too Much Love Will Kill You", demikian salah satu lagu dari legenda Queen. Hal ini seringkali dikarenakan oleh perasaan mencintai yang begitu besar. Bahkan terlalu besar hingga dia mengorbankan apapun yang dimiliki untuk sang kekasih. Cinta pertama biasanya sering membuat seseorang terlalu banyak berkorban. Bahkan seringkali pengorbanannya melebihi kemampuan.

Pengorbanan yang terlalu besar itulah yang tidak disadari telah membuat kita kehilangan jati diri. Perubahan pada diri semakin besar apabila terjadi kegagalan; yang mengakibatkan pengorbanan seolah sia-sia.

Sebaiknya realistislah dalam berkorban atas nama cinta. Lalu bagaimanakah cara kita berkorban demi cinta yang paling ideal? Itu terserah anda. Yang terpenting anda ingat saran-saran berikut;


  1. Yakinkanlah diri anda apakah yang anda pilih benar-benar merupakan calon pendamping hidup anda sampai tua nanti. Jangan terlalu melibatkan perasaan. Cobalah angkat logika anda ke permukaan, renungkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Termasuk tujuan hidup jangka pendek yang anda inginkan.

  2. Tentukan prioritas dan tujuan utama anda. Jika kita masih cukup muda, realistislah bahwa tujuan terpenting adalah mencapai kesuksesan dalam study ataupun karir. Jangan sampai tujuan lanjutan (menyangkut pendamping hidup) mengorbankan prioritas utama.

  3. Pepatah bilang, "Jodoh takkan kemana". Untuk apa anda berjuang terlalu keras dan berkorban terlalu banyak untuk sesuatu yang pasti akan anda dapatkan. Ya, kita pasti punya jodoh kita masing-masing.

  4. Sebesar apapun kita berkorban dan sekeras apapun kita berusaha, kalau memang tidak berjodoh mau gimana?? :-p

  5. Kita bisa mencintai siapapun (untuk manusia normal, tentunya lawan jenis), asal kita dengan sungguh-sungguh berusaha untuk mencintai dengan sepenuh hati. Menerima apa adanya dan berusaha ikhlas berkorban untuk seseorang, dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa cinta di hati kita.

Saya harap sedikit tulisan di atas cukup berguna bagi siapapun yang sedang jatuh cinta. Tulisan ini didasarkan pada pengalaman pribadi, terkait pengorbanan dan usaha pribadi untuk cinta yang ternyata, -saya sadari-, terlalu berlebihan.

Note: Gambar diambil dari sini....