Jumat, 14 Maret 2008

Aku Ingin Terus Bermimpi


Lelap aku dalam enggan kehidupan
Terpejam mata kugambar mimpi
Kawan,...
Asa ini terus melayang
Tiada ingin aku terbangun dari indahnya pulasku
Karna diri benci kenyataan.

-

-

Note: Gambar diambil dari sini..., dengan sedikit perubahan.

Senin, 10 Maret 2008

Tips: Cara Menolak Cinta

Di-copy-paste dari: http://www.detikhot.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/03/tgl/07/time/074825/idnews/905213/idkanal/245

Menolak pernyataan cinta seseorang memang sulit. Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Selain dapat menyakiti hati seseorang, salah melangkah malah bisa timbul dendam berkepanjangan. Mau tahu trik jitu untuk menolak pernyataan cinta? Ini dia:

1. Usahakan lakukan penolakan di tempat yang sepi. Jika perlu lakukan berdua saja. Jangan sampai ada orang lain yang dengar, karena hanya menambah rasa malu pada orang yang Anda tolak.

2. Sebisa mungkin perlihatkan rasa bersalah Anda. Jangan pasang muka kaku atau benci. Tetaplah tersenyum, tapi bukan senyum senang. Melainkan senyum penyesalan.

3. Hiburlah orang yang Anda tolak. yakinkan dirinya bahwa dia bisamendapatkan seseorang yang lebih baik dari diri Anda. Selamatkan harga dirinya dengan kata-kata yang lembut dan tidak menyakitkan Tapi hati-hati, jangan sampai Anda memberinya harapan lagi.

4. Gunakan intonasi yang tenang dan ramah. Jangan bernada kasar. Jika melakukannya dengan baik maka biasanya orang yang Anda tolak akan lebih mudah menerima.

5. Yang perlu diingat, lakukan secara baik-baik, jangan berkata kasar apalagi menyakiti hati dan harga dirinya. Sebisa mungkin jangan memberi harapan palsu kepada orang yang telah Anda tolak. Karena akan menyakiti hatinya.

Note:
- Artikel diambil dari DetikHot
- Gambar diambil dari sini....

Minggu, 09 Maret 2008

Jangan Kau Caci Jatuh Cintaku

(Sebuah Cerita - 5)

Di usiaku, ada perasaan aneh apabila aku harus menggebu-gebu dan ngebet saat mengalami, apa yang disebut orang, jatuh cinta. Takutkah aku? Mungkin. Tapi yang lebih tepat adalah bahwa aku merasa agak malu jika terus berbicara tentang cinta. Hal ini memaksa aku untuk mencari alasan agar aku mampu menghilangkan ke'malu'anku itu. Alasan itu pula yang nantinya membuatku mampu untuk terus menjaga perasaan tulus ini. Dan hal itu tidaklah tepat hanya disebut sebagai alasan saja.

Siapa saja engkau mungkin ingin mengejek jatuh cintaku. Kau bisa saja berkata, apa dasarku untuk merasa berhak atas hal itu. Untuk jatuh cinta. Tapi aku akan bertanya kepadamu, tidakkah engkau memiliki perasaan seperti itu terhadap kekasihmu?

Kau akan berkata lagi, tentu saja aku jatuh cinta dengan kekasihku. Karena secara legal formal aku memiliki hak untuk itu. Memang benar kau tentu sangat berhak untuk itu. Sedangkan aku bagimu mungkin sama sekali dianggap tidak berhak untuk jatuh cinta. Tepatnya jatuh cinta pada kekasih orang lain.

Tidak. Kau salah kawan!

Hai, kawanku.... Aku tidak ingin berkata-kata tentang hak untuk memiliki seseorang atau orang lain. Ini adalah ungkapan tulus perasaan dari beningnya jiwa terdalam. Apakah harus anak muda yang boleh memiliki perasaan seperti itu? Atau bahkan harus orang yang belum pernah memiliki kekasih yang boleh memiliki perasaan indah itu? Kawan, aku adalah manusia yang masih terus menghargai cinta. Itu adalah fitrah dasar manusia.

Kau harus ingat keberadaanmu di dunia adalah buah cinta sepasang manusia. Cinta. Ya, itu adalah cinta mereka. Saat orang tuamu bersebadan, perasaan terdalam mereka adalah perasaan cinta kasih penuh kedamaian. Sangat indah menggetarkan. Dan kau bukanlah buah nafsu dari mereka.

Jika kau mencaciku karena aku memiliki tulus cinta, aku akan balik menghina engkau. Bahwa engkau bukanlah buah cinta yang tulus dari sepasang orang tuamu. Tapi engkau adalah buah nafsu laki-laki dan perempuan orang tuamu.

Aku layak dihargai untuk perasaan cintaku itu.

Note: Gambar diambil dari sini....

Kamis, 06 Maret 2008

(Tidak) Hilangnya Seorang Gadis

(Sebuah Cerita - 4)

“Itu tadi cowokku!”, kata Umi suatu waktu setelah seorang laki-laki mengantarkannya sampai depan mess tempatnya tinggal.

Aku sedikit terkejut. “Oh iya, to?!”, kataku dengan muka yang aku buat sebiasa mungkin. Aku sempat terdiam sebelum melanjutkan omonganku.

"Kok dari dulu-dulu gak bilang?! Dari awal aku tanya sudah punya cowok apa belum, katanya belum!!?”, protesku. Aku memang telah menegaskan semenjak pertama kali mendekatinya, bahwa aku tidak akan mengganggunya seandainya dia telah memiliki seorang kekasih.

“Lho dari awal aku ‘kan sudah ngomong, cuma kamu aja yang tidak percaya!”, balasnya. Astaga, apa yang pernah dia katakan ternyata benar. Saat itu aku memang tidak percaya dan cenderung tidak memikirkan kata-katanya. Aku lebih tertarik pada bagaimana cara dia berkata. Ya, dia mengatakan hal ini dengan raut muka penuh keraguan dan tidak ada ketegasan sama sekali. Hal seperti ini, bagiku, sama saja dia mengatakan bahwa dia belum memiliki seorang kekasih.

Ternyata anggapanku salah dan apa yang dulu dikatakannya itu benar. Aku memang sangat berharap terhadapnya sehingga aku enggan berpikir seandainya dia benar-benar telah memiliki seorang kekasih. Barangkali karena tingkat ke-GeeR-anku yang terlalu tinggi, maka aku cukup terkejut dengan kenyataan ini. Akan tetapi aku toh tidak peduli. Aku yakin, walaupun ia memiliki seorang kekasih, perasaan cinta yang dimilikinya bukan untuk orang itu. Aku yakin. Yakin sekali. Lagipula orang itu belumlah lama dia kenal. (Apalagi aku).

Keyakinanku yang lebih mendalam justru mengatakan bahwa suatu saat aku pasti akan bersamanya.

Walaupun aku harus percaya kenyataan bahwa dia telah memiliki seorang kekasih, aku lebih percaya bahwa dia terus mengenang masa lalunya. Dia pasti benar-benar kesulitan menghilangkan perasaannya terhadap seorang dari masa lalunya. Bahkan aku mengerti seandainya dia sama sekali tidak ingin menghilangkan perasaan tersebut. Aku paham bagaimana perasaan seorang wanita terhadap seorang yang benar-benar (pernah) dicintainya. Seorang wanita pasti telah begitu tulus menyerahkan segenap perasaannya untuk orang itu. Wanita adalah kesetiaan.

Di lain waktu, pesan pendek yang dia kirimkan kurang lebih berbunyi, “Maaf, aku sama sekali tidak ingin membuatmu kecewa, akan tetapi aku telah memiliki seseorang yang menjadi pilihanku…”. Aku tetap saja tidak peduli. Hal ini tetap tidak banyak mempengaruhi perasaanku terhadapnya.

Kesadaran terdalamku memang selalu memaksa aku untuk mengakui semua kenyataan itu. Akan tetapi, hal yang paling mempengaruhiku adalah kenyataan yang berkaitan dengan rekan-rekan kerja yang juga sahabatnya. Masalah yang paling mengusikku dan (aku yakin) juga dia, bukanlah kenyataan adanya seorang kawannya yang mengharapkanku. Aku sempat dekat dengan kawannya itu. Karena itu, Umi merasa tidak enak untuk dekat denganku. Tapi bukan itu masalah besarnya.

Sulit bagiku menjelaskan. Pada intinya salah seorang di antara kawannya memaksa dia untuk tidak dekat dengan aku. Bagiku, hal seperti ini adalah suatu campur tangan orang lain, - benar-benar orang lain, atau orang asing -, terhadap hak pribadiku. Aku benar-benar sangat marah sekarang ini. “Siapa sih lu!?!”.

Saking marahnya, aku sering menyumpahi dia dalam hatiku. Dengan tulus aku memohon kepada Tuhan untuk memberikan kesialan pada orang itu. Aku akan sangat senang jika dia ditakdirkan untuk berpisah dengan kekasihnya. “Biar dia tau rasa!”, batinku. Bahkan, aku sempat tidak kuasa menahan untuk mengirimi dia, sebut saja Ema, sebuah pesan pendek ‘salah kirim’. Pada intinya pesan itu memberitahukan bahwa aku sangat tidak suka terhadap seseorang yang turut campur dalam kehidupanku. Dengan nada seorang preman tentunya.

Dengan pesan pendek itu, jelas bahwa aku telah membuat suatu kesalahan. Dan memang begitulah kenyataannya. Ema langsung menuduh Umi dibalik pesan yang aku kirim. Dengan marah Ema menuding. (Aku yakin Ema memang tidak bisa berkata dengan kebijakan seorang wanita). Tipikal seorang wanita tanpa wawasan. Anggapannya, Umilah yang mendorongku untuk mengirim pesan tadi ke Ema. Sungguh aku benar-benar tidak ingin Umi menjadi korban tindakanku ini. Karena itulah aku merasa telah melakukan suatu kesalahan. Akan tetapi, kesabaran dan ketenangan Umi jualah yang dapat mencegah timbulnya masalah yang lebih besar lagi.

Pada akhirnya, sebenarnya aku merasa perlu untuk berbuat kesalahan seperti itu.

***

“Bagaimana kau merasa bangga
akan dunia yang sementara
bagaimanakah bila semua
hilang dan pergi meninggalkan dirimu…”


Bait syair lagu Bila Waktu Tlah Berakhir yang dinyanyikan Opick tersebut cukup bisa menenangkan hati gundahku malam ini. Suatu lagu yang cukup menyadarkanku betapa semua hal adalah fana, tidak abadi. Siapapun tidak dapat memaksakan suatu hal jua agar dapat berjalan sesuai dengan keinginannya.

Suatu ketika dia menulis pesan pendek untukku, ”.… Bagaimanapun juga aku telah memiliki pilihan, akan tetapi semuanya aku serahkan sama Yang Di Atas. Hanya Dia yang berhak menentukan segalanya".

Ya, memang hanya Dia.

(...)

note: Gambar diambil dari sini..., dengan sedikit pengeditan.

Selasa, 04 Maret 2008

Cinta Adalah Harapan (Kosong)

(Sebuah Cerita - 3)

Aku yakin siapapun akan sulit menjawab saat ditanya apa itu cinta. Terlebih bagiku saat ini. Walaupun aku tidak pernah menggunakan kata ini secara langsung untuknya. Sekarang ini, bagiku, kata-kata ini adalah kata-kata memuakkan yang aku menyesal telah mencoba untuk mengenal dan mendefinisikannya. Dan yang lebih membuat diri merasa kehilangan eksistensi adalah bahwa ternyata aku merasa bahwa tindakan-tindakan yang aku lakukan selama ini cukup wagu dan memalukan, setidaknya bagi aku sendiri. Aku menyadari bahwa keberadaanku sempat hilang terbawa oleh perasaan yang semu ini, sampai-sampai aku menjadi bukan 'aku yang seharusnya'.

Di lain waktu aku merasa bahwa aku tidaklah perlu merasa malu dengan tindakan-tindakanku. Setidaknya semua itu telah membuktikan bahwa aku benar-benar punya niat dan keinginan terhadapnya. Juga bahwa aku benar-benar mau berusaha dan berkorban. Ah, kata-kata ini terlalu klise tampaknya. Tapi apa peduliku. Yang jelas, dengan berpikir seperti itu, aku tidak harus merasa malu dengan tindakan-tindakanku. Belum lagi jika teringat bahwa aku memiliki harapan yang indah semenjak mengenal dan dekat dengannya. Rasanya segala tindakanku adalah wajar dan memang harus begitu.

Entah sejak kapan aku merasa harus dekat dan mendekati dia. Aku juga tidak tahu,-apabila kemudian aku mencoba untuk mengambil hatinya-, mengapa hal ini tidak aku lakukan saja semenjak pertama kali aku mengetahui keberadaannya. Mengapa pula harus menunggu adanya hal yang dapat membuat masalah apabila aku dekat dengannya? Masalah itu adalah masalah bagi aku sendiri dan terlebih lagi bagi dirinya. Aku benar-benar tidak tahu!

Semenjak aku telah menjadi lebih dekat dengan dia, memang satu persatu masalah berhamburan keluar dan memenuhi ruang kehidupanku yang telah penuh sesak dengan segala permasalahanku sebelumnya. Masalah-masalah itu tidaklah sepenuhnya aku sadari, lebih karena harapan-harapanku yang terlalu besar pada awalnya. Harapan bahwa aku akan menapaki kehidupanku yang baru, tentunya yang aku anggap akan lebih baik, yang penuh kebahagiaan dan keceriaan. Harapan untuk bisa bersama dia. Harapan yang, kini, untuk membayangkan saja sulit.

Dengan mengambil keputusan untuk jatuh cinta dan mendekatinya, aku memang telah menyulut api masalah yang cukup besar bagiku. Akan tetapi aku tidak peduli. Yang aku pedulikan adalah bahwa aku mengakui perasaanku terhadapnya dan kemudian aku berusaha untuk itu, dengan segala resikonya. Hal ini sering membuatku berpikir, seandainya saja dia juga tidak peduli dengan masalah yang dapat timbul apabila dia dekat denganku, aku pasti akan sangat bahagia. Aku menganggap dia memiliki perasaan yang sama denganku. Entah bagaimana yang sesungguhnya.

Aku pernah meminta dia untuk jujur terhadap dirinya sendiri. Permintaan yang didorong oleh optimisme dan keyakinanku terhadapnya. Aku terlalu yakin bahwa dia juga memiliki perasaan terhadapku. Tapi ternyata aku terlalu bodoh. Cukup bodoh untuk tidak bisa mengartikan apabila sesungguhnya dia sama sekali tidak memiliki perasaan apapun terhadapku.

Tentang cinta, tampaknya aku masih seperti anak kecil. Aku bagai baru mengalami perasaan cinta yang pertama kalinya. Segalanya seolah selalu nampak indah. Semua hal seperti mendukung dan menjadi bagian yang menguatkan perasaan. Seolah akulah pemeran utama dalam kehidupan ini. Dunia seperti diciptakan hanya untuk kebahagiaanku seorang. Alangkah bodohnya diriku.

Sedari awal harusnya aku sudah berusaha menyadari, seandainya aku hanyalah angin lalu bagi dia. Keberanianku untuk mengumbar usaha terhadap dia didorong oleh harapan-harapan indahku. Harapan itu terlalu menyilaukanku hingga aku buta karenanya. Harapan yang mulai kuanggap; kosong.

Harapan-harapanku itu hanya akan menjadi jejak yang mengguratkan luka baru dalam hidupku.

Note: Gambar diambil dari sini....

Minggu, 02 Maret 2008

Pulang Dari Mimpi

(Sebuah Cerita - 2)

Pagi yang cukup indah di Yogyakarta ketika kereta api yang aku naiki berhenti di stasiun Tugu. Cukup indah bagi orang-orang untuk mengawali hari libur mereka. Terbukti saat aku sampai di jalan Malioboro untuk pulang, jalan itu tertutup sementara dan digunakan sebagai tempat senam pagi. Sedikit ke selatan, pejabat-pejabat sedang melakukan senam Tai Chi.

Sebaliknya, tidak demikian bagi para pedagang. Mereka tidak memerlukan senam untuk dapat melanjutkan hidup mereka. Akan tetapi yang tampak tetaplah hal yang positif. Optimisme dan semangat bekerja jelas tergurat di wajah-wajah mereka. Memang pagi seindah ini tidaklah perlu diawali dengan kesuraman.

Sebenarnya aku cukup dapat merasakan keindahan minggu pagi ini. Setidaknya aku berusaha untuk itu. Akan tetapi, menyadari apa yang aku lakukan selama kurang lebih 14 jam sebelumnya, aku merasa malu pada diri sendiri. Semenjak dibangunkan di Wates oleh kru KA yang meminta bantal yang aku pakai, aku seolah-olah bangun dari mimpi. Mimpi yang semakin kurasakan benar-benar mimpi ketika aku menginjakkan kaki di bumi Sri Sultan yang penuh keindahan di pagi seperti ini.

Kawanku, haruskah aku menyebutkan apakah mimpiku itu?? Aku benar-benar malu mengatakannya.

Ya, sore kemarin aku memulai langkahku bersama kereta api Logawa jurusan Purwokerto. Di balik kelembutan seorang dia, tersimpan kekuatan yang mampu mendorongku untuk pergi bersamanya ke kota asalnya. Dia memang tidak mengajakku. Bahkan cenderung melarang aku. Aku sendiri tidak pernah memikirkan bagaimana nantinya jika aku sampai ke Purwokerto. Aku tidak peduli. Bagiku inilah salah satu kesempatan terbaik untuk dapat bersamanya. Kau sudah tahu kawanku, aku merasa bahagia untuk dapat sekedar duduk di sebelahnya.

Segala hal yang nantinya dapat kualami dan kurasakan setelah habis masa singkat bersama dia, di sebelahnya, tidak pernah terpikirkan. Bahkan aku tidak ingin memikirkannya. Aku tidak pernah mengira bahwa selain adanya mimpi yang menjadi nyata, ternyata ada juga kenyataan yang pada akhirnya terasa seperti mimpi. Aku juga tidak pernah berpikir sebelumnya bahwa tindakanku itu akan nampak bodoh. (Aku benar-benar berharap ini hanya menurut penilaianku sendiri). Yang terpenting bagiku saat itu adalah bisa bersamanya. Bersamanya.

Apa hakku untuk terus mengejar kebersamaan dengannya? Aku memang tidak berhak, tapi aku bisa berusaha dan berkorban untuk itu. Termasuk kenyataan bahwa setelah dia pulang ke rumahnya, aku tidak tahu akan berbuat apa di stasiun Purwokerto. Bahwa semalaman di stasiun itu aku cuma duduk dan mondar-mandir seperti gelandangan. Bahwa kemudian aku mengantuk dan aku tidak bisa tidur. Dan kedinginan. Saat itu aku ingat bahwa sejak pagi aku baru makan sekali. Saat itu, bagiku hal itu bukan apa-apa. Tapi kenyataan terkini memaksaku untuk merasa seperti anak kecil yang bodoh dengan semua tindakanku itu. Bodoh. Dan bodoh.

Biarlah aku beralasan ini hanyalah mimpi. Tanpa alasan ini, hal nyata yang aku lakukan adalah cukup memalukan bagi diriku sendiri. Bahkan aku kira tidak hanya untukku. Kusadari, hal seperti ini cukup beralasan bagi orang yang mengetahui untuk mencemooh dan menghinaku. Hal yang tidak pantas. Hal sia-sia tanpa tujuan. Tindakan bodoh anak kecil. Ah, aku benar-benar merasa malu dan tidak ingin mengatakannya....

Tolong wahai apapun makhluk Tuhan di dunia ini, bantu aku untuk menyebut bahwa hal itu adalah mimpi.

Note: Gambar diambil dari sini....

Kamis, 28 Februari 2008

Tadi Dia Tersenyum

(Sebuah Cerita - 1)

Aku memulai catatan ini dengan penuh semangat dan pikiran yang cukup tenang. Yang jelas aku dalam good mood, karena aku tadi melihatnya tersenyum; penuh arti.

Sore itu, seperti biasa aku menuggunya pulang lewat depan kantorku. Sebelumnya aku sudah cukup pesimis untuk tidak berniat menyapa dia. Tapi aku tidak tahan untuk tidak melihat wajahnya barang sekilas. Kusambar koran di meja, lalu aku mengambil kursi untuk duduk tepat di ambang pintu menunggunya.

Belum sempat aku mulai membaca, dari celah pintu aku melihatnya berjalan. Aku terlonjak. Kudekati dia dan kulemparkan senyum kepadanya. Yang jelas aku berusaha untuk tampak biasa. Dia memandang ke arahku. Puji Tuhan! Dia tersenyum juga, terasa sampai ke lubuk hatiku. Terasa indah dan menyenangkan karena sebelumnya aku sudah merasa hubunganku dengan dia sudah cukup kerontang. Sebenarnya aku mulai kehilangan harapan (walau aku akan terus berusaha agar jangan sampai harapanku hilang sama sekali).

Secara pelan aku mengatakan ingin barang sedikit berbicara dengan dirinya. Bagiku yang terpenting bukan bicara tentang ini, itu atau apapun yang bikin pikiran capek. Sekedar duduk di sebelahnya aku sudah cukup bahagia. Aku sendiri tidak yakin dia mendengar apa yang aku katakan. Itu terbukti dari sikapnya yang agak mengacuhkanku. :-(

Tapi aku tidak peduli. Aku telah mendapatkannya tersenyum. Senyum yang penuh arti dan cukup membuatku merasa senang. Kuiringi dia sebentar berjalan menuju mess tempatnya tinggal. Aku juga tidak ingin memaksanya untuk memberikanku sedikit waktu untuk berbicara. Jadi, kubiarkan saja dia pulang. Kupandangi terus hingga dia menghilang masuk ke dalam tempat tinggalnya.

Aku segera kembali ke pekerjaanku. Akan tetapi di pikiranku tergambar dengan nyata senyumannya barusan. Aku mengartikan senyuman itu sebagai 'benar-benar' senyuman hatinya untukku. Jadi aku merasa cukup untuk tidak berlama-lama dengannya. Cukup satu senyumannya itu. Hatiku pun jadi lebih tenang dibandingkan siang tadi. :-) :-))

Aku sempat mengiriminya beberapa pesan pendek. Dalam beberapa waktu tidak ada balesan (aku anggap belum sempat) . Aku tidak peduli. Lagian sempat ada kawan yang datang. Aku dan kawanku itu sempat ngobrol beberapa menit sebelum kemudian dia meneruskan perjalanan pulangnya.

Kuputuskan untuk menulis keindahan yang baru kurasakan dalam catatan ini. Penuh semangat!

Beberapa huruf aku ketikkan, aku mendengar ada pintu terbuka. Suara pintu yang cukup kukenal. Sontak aku kembali terlonjak. Aku berlari keluar dan memang kudapati dia telah keluar dengan dandanan barunya. Anggun. Penuh tanda tanya, segala perasaanku barusan langsung musnah. Kutanyakan kepadanya mau kemana. "Mau pergi", jawabnya. Kutanya lagi, "sama siapa?" (aku sebenarnya merasa tidak berhak bertanya seperti ini). "Sama temen!".

Aku langsung paham. Dalam waktu singkat segala perasaan dalam diriku berubah.

Inilah salah satu kehebatan Tuhan.

Note: Gambar diambil dari sini..., dengan sedikit pengeditan.

Rabu, 13 Februari 2008

Mencintai


Sebagai remaja, ataupun anak muda kamu pasti pernah mengalami yang namanya jatuh cinta. Iya, kan?! Berjuta perasaan senang dan bahagia melambungkan harapan. Terbayang selalu bahagia apabila berada di dekat dia yang kita cintai. Pada malam hari, hanya perasaan syahdu penuh kerinduan yang selalu menyelimuti hati. Bagaikan gelombang besar yang sanggup membawa kita kepada keabadian cinta dan kebahagiaan.

Tapi tidak jarang impian cinta tersebut menjadi sia-sia dan penuh kehampaan. Demikian apabila cinta yang kita rasakan ternyata bertepuk sebelah tangan. Lebih-lebih apabila cinta telah bersambut dan kita telah berusaha menjalin asa bahagia. Kegagalan yang kemudian terjadi menimbulkan perasaan hancur, sakit, marah, lelah, kecewa, jenuh, keinginan untuk meluapkan segala macam emosi bahkan mungkin keinginan untuk bunuh diri bisa aja muncul.

"Too Much Love Will Kill You", demikian salah satu lagu dari legenda Queen. Hal ini seringkali dikarenakan oleh perasaan mencintai yang begitu besar. Bahkan terlalu besar hingga dia mengorbankan apapun yang dimiliki untuk sang kekasih. Cinta pertama biasanya sering membuat seseorang terlalu banyak berkorban. Bahkan seringkali pengorbanannya melebihi kemampuan.

Pengorbanan yang terlalu besar itulah yang tidak disadari telah membuat kita kehilangan jati diri. Perubahan pada diri semakin besar apabila terjadi kegagalan; yang mengakibatkan pengorbanan seolah sia-sia.

Sebaiknya realistislah dalam berkorban atas nama cinta. Lalu bagaimanakah cara kita berkorban demi cinta yang paling ideal? Itu terserah anda. Yang terpenting anda ingat saran-saran berikut;


  1. Yakinkanlah diri anda apakah yang anda pilih benar-benar merupakan calon pendamping hidup anda sampai tua nanti. Jangan terlalu melibatkan perasaan. Cobalah angkat logika anda ke permukaan, renungkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Termasuk tujuan hidup jangka pendek yang anda inginkan.

  2. Tentukan prioritas dan tujuan utama anda. Jika kita masih cukup muda, realistislah bahwa tujuan terpenting adalah mencapai kesuksesan dalam study ataupun karir. Jangan sampai tujuan lanjutan (menyangkut pendamping hidup) mengorbankan prioritas utama.

  3. Pepatah bilang, "Jodoh takkan kemana". Untuk apa anda berjuang terlalu keras dan berkorban terlalu banyak untuk sesuatu yang pasti akan anda dapatkan. Ya, kita pasti punya jodoh kita masing-masing.

  4. Sebesar apapun kita berkorban dan sekeras apapun kita berusaha, kalau memang tidak berjodoh mau gimana?? :-p

  5. Kita bisa mencintai siapapun (untuk manusia normal, tentunya lawan jenis), asal kita dengan sungguh-sungguh berusaha untuk mencintai dengan sepenuh hati. Menerima apa adanya dan berusaha ikhlas berkorban untuk seseorang, dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa cinta di hati kita.

Saya harap sedikit tulisan di atas cukup berguna bagi siapapun yang sedang jatuh cinta. Tulisan ini didasarkan pada pengalaman pribadi, terkait pengorbanan dan usaha pribadi untuk cinta yang ternyata, -saya sadari-, terlalu berlebihan.

Note: Gambar diambil dari sini....