Minggu, 02 Maret 2008

Pulang Dari Mimpi

(Sebuah Cerita - 2)

Pagi yang cukup indah di Yogyakarta ketika kereta api yang aku naiki berhenti di stasiun Tugu. Cukup indah bagi orang-orang untuk mengawali hari libur mereka. Terbukti saat aku sampai di jalan Malioboro untuk pulang, jalan itu tertutup sementara dan digunakan sebagai tempat senam pagi. Sedikit ke selatan, pejabat-pejabat sedang melakukan senam Tai Chi.

Sebaliknya, tidak demikian bagi para pedagang. Mereka tidak memerlukan senam untuk dapat melanjutkan hidup mereka. Akan tetapi yang tampak tetaplah hal yang positif. Optimisme dan semangat bekerja jelas tergurat di wajah-wajah mereka. Memang pagi seindah ini tidaklah perlu diawali dengan kesuraman.

Sebenarnya aku cukup dapat merasakan keindahan minggu pagi ini. Setidaknya aku berusaha untuk itu. Akan tetapi, menyadari apa yang aku lakukan selama kurang lebih 14 jam sebelumnya, aku merasa malu pada diri sendiri. Semenjak dibangunkan di Wates oleh kru KA yang meminta bantal yang aku pakai, aku seolah-olah bangun dari mimpi. Mimpi yang semakin kurasakan benar-benar mimpi ketika aku menginjakkan kaki di bumi Sri Sultan yang penuh keindahan di pagi seperti ini.

Kawanku, haruskah aku menyebutkan apakah mimpiku itu?? Aku benar-benar malu mengatakannya.

Ya, sore kemarin aku memulai langkahku bersama kereta api Logawa jurusan Purwokerto. Di balik kelembutan seorang dia, tersimpan kekuatan yang mampu mendorongku untuk pergi bersamanya ke kota asalnya. Dia memang tidak mengajakku. Bahkan cenderung melarang aku. Aku sendiri tidak pernah memikirkan bagaimana nantinya jika aku sampai ke Purwokerto. Aku tidak peduli. Bagiku inilah salah satu kesempatan terbaik untuk dapat bersamanya. Kau sudah tahu kawanku, aku merasa bahagia untuk dapat sekedar duduk di sebelahnya.

Segala hal yang nantinya dapat kualami dan kurasakan setelah habis masa singkat bersama dia, di sebelahnya, tidak pernah terpikirkan. Bahkan aku tidak ingin memikirkannya. Aku tidak pernah mengira bahwa selain adanya mimpi yang menjadi nyata, ternyata ada juga kenyataan yang pada akhirnya terasa seperti mimpi. Aku juga tidak pernah berpikir sebelumnya bahwa tindakanku itu akan nampak bodoh. (Aku benar-benar berharap ini hanya menurut penilaianku sendiri). Yang terpenting bagiku saat itu adalah bisa bersamanya. Bersamanya.

Apa hakku untuk terus mengejar kebersamaan dengannya? Aku memang tidak berhak, tapi aku bisa berusaha dan berkorban untuk itu. Termasuk kenyataan bahwa setelah dia pulang ke rumahnya, aku tidak tahu akan berbuat apa di stasiun Purwokerto. Bahwa semalaman di stasiun itu aku cuma duduk dan mondar-mandir seperti gelandangan. Bahwa kemudian aku mengantuk dan aku tidak bisa tidur. Dan kedinginan. Saat itu aku ingat bahwa sejak pagi aku baru makan sekali. Saat itu, bagiku hal itu bukan apa-apa. Tapi kenyataan terkini memaksaku untuk merasa seperti anak kecil yang bodoh dengan semua tindakanku itu. Bodoh. Dan bodoh.

Biarlah aku beralasan ini hanyalah mimpi. Tanpa alasan ini, hal nyata yang aku lakukan adalah cukup memalukan bagi diriku sendiri. Bahkan aku kira tidak hanya untukku. Kusadari, hal seperti ini cukup beralasan bagi orang yang mengetahui untuk mencemooh dan menghinaku. Hal yang tidak pantas. Hal sia-sia tanpa tujuan. Tindakan bodoh anak kecil. Ah, aku benar-benar merasa malu dan tidak ingin mengatakannya....

Tolong wahai apapun makhluk Tuhan di dunia ini, bantu aku untuk menyebut bahwa hal itu adalah mimpi.

Note: Gambar diambil dari sini....

1 komentar:

Anonim mengatakan...

ceritanya cukup bagus, bang! tapi kok rasanya terlalu pesimis.... kalo memang cinta, mengapa tidak diperjuangkan saja?? he he he....