Kamis, 06 Maret 2008

(Tidak) Hilangnya Seorang Gadis

(Sebuah Cerita - 4)

“Itu tadi cowokku!”, kata Umi suatu waktu setelah seorang laki-laki mengantarkannya sampai depan mess tempatnya tinggal.

Aku sedikit terkejut. “Oh iya, to?!”, kataku dengan muka yang aku buat sebiasa mungkin. Aku sempat terdiam sebelum melanjutkan omonganku.

"Kok dari dulu-dulu gak bilang?! Dari awal aku tanya sudah punya cowok apa belum, katanya belum!!?”, protesku. Aku memang telah menegaskan semenjak pertama kali mendekatinya, bahwa aku tidak akan mengganggunya seandainya dia telah memiliki seorang kekasih.

“Lho dari awal aku ‘kan sudah ngomong, cuma kamu aja yang tidak percaya!”, balasnya. Astaga, apa yang pernah dia katakan ternyata benar. Saat itu aku memang tidak percaya dan cenderung tidak memikirkan kata-katanya. Aku lebih tertarik pada bagaimana cara dia berkata. Ya, dia mengatakan hal ini dengan raut muka penuh keraguan dan tidak ada ketegasan sama sekali. Hal seperti ini, bagiku, sama saja dia mengatakan bahwa dia belum memiliki seorang kekasih.

Ternyata anggapanku salah dan apa yang dulu dikatakannya itu benar. Aku memang sangat berharap terhadapnya sehingga aku enggan berpikir seandainya dia benar-benar telah memiliki seorang kekasih. Barangkali karena tingkat ke-GeeR-anku yang terlalu tinggi, maka aku cukup terkejut dengan kenyataan ini. Akan tetapi aku toh tidak peduli. Aku yakin, walaupun ia memiliki seorang kekasih, perasaan cinta yang dimilikinya bukan untuk orang itu. Aku yakin. Yakin sekali. Lagipula orang itu belumlah lama dia kenal. (Apalagi aku).

Keyakinanku yang lebih mendalam justru mengatakan bahwa suatu saat aku pasti akan bersamanya.

Walaupun aku harus percaya kenyataan bahwa dia telah memiliki seorang kekasih, aku lebih percaya bahwa dia terus mengenang masa lalunya. Dia pasti benar-benar kesulitan menghilangkan perasaannya terhadap seorang dari masa lalunya. Bahkan aku mengerti seandainya dia sama sekali tidak ingin menghilangkan perasaan tersebut. Aku paham bagaimana perasaan seorang wanita terhadap seorang yang benar-benar (pernah) dicintainya. Seorang wanita pasti telah begitu tulus menyerahkan segenap perasaannya untuk orang itu. Wanita adalah kesetiaan.

Di lain waktu, pesan pendek yang dia kirimkan kurang lebih berbunyi, “Maaf, aku sama sekali tidak ingin membuatmu kecewa, akan tetapi aku telah memiliki seseorang yang menjadi pilihanku…”. Aku tetap saja tidak peduli. Hal ini tetap tidak banyak mempengaruhi perasaanku terhadapnya.

Kesadaran terdalamku memang selalu memaksa aku untuk mengakui semua kenyataan itu. Akan tetapi, hal yang paling mempengaruhiku adalah kenyataan yang berkaitan dengan rekan-rekan kerja yang juga sahabatnya. Masalah yang paling mengusikku dan (aku yakin) juga dia, bukanlah kenyataan adanya seorang kawannya yang mengharapkanku. Aku sempat dekat dengan kawannya itu. Karena itu, Umi merasa tidak enak untuk dekat denganku. Tapi bukan itu masalah besarnya.

Sulit bagiku menjelaskan. Pada intinya salah seorang di antara kawannya memaksa dia untuk tidak dekat dengan aku. Bagiku, hal seperti ini adalah suatu campur tangan orang lain, - benar-benar orang lain, atau orang asing -, terhadap hak pribadiku. Aku benar-benar sangat marah sekarang ini. “Siapa sih lu!?!”.

Saking marahnya, aku sering menyumpahi dia dalam hatiku. Dengan tulus aku memohon kepada Tuhan untuk memberikan kesialan pada orang itu. Aku akan sangat senang jika dia ditakdirkan untuk berpisah dengan kekasihnya. “Biar dia tau rasa!”, batinku. Bahkan, aku sempat tidak kuasa menahan untuk mengirimi dia, sebut saja Ema, sebuah pesan pendek ‘salah kirim’. Pada intinya pesan itu memberitahukan bahwa aku sangat tidak suka terhadap seseorang yang turut campur dalam kehidupanku. Dengan nada seorang preman tentunya.

Dengan pesan pendek itu, jelas bahwa aku telah membuat suatu kesalahan. Dan memang begitulah kenyataannya. Ema langsung menuduh Umi dibalik pesan yang aku kirim. Dengan marah Ema menuding. (Aku yakin Ema memang tidak bisa berkata dengan kebijakan seorang wanita). Tipikal seorang wanita tanpa wawasan. Anggapannya, Umilah yang mendorongku untuk mengirim pesan tadi ke Ema. Sungguh aku benar-benar tidak ingin Umi menjadi korban tindakanku ini. Karena itulah aku merasa telah melakukan suatu kesalahan. Akan tetapi, kesabaran dan ketenangan Umi jualah yang dapat mencegah timbulnya masalah yang lebih besar lagi.

Pada akhirnya, sebenarnya aku merasa perlu untuk berbuat kesalahan seperti itu.

***

“Bagaimana kau merasa bangga
akan dunia yang sementara
bagaimanakah bila semua
hilang dan pergi meninggalkan dirimu…”


Bait syair lagu Bila Waktu Tlah Berakhir yang dinyanyikan Opick tersebut cukup bisa menenangkan hati gundahku malam ini. Suatu lagu yang cukup menyadarkanku betapa semua hal adalah fana, tidak abadi. Siapapun tidak dapat memaksakan suatu hal jua agar dapat berjalan sesuai dengan keinginannya.

Suatu ketika dia menulis pesan pendek untukku, ”.… Bagaimanapun juga aku telah memiliki pilihan, akan tetapi semuanya aku serahkan sama Yang Di Atas. Hanya Dia yang berhak menentukan segalanya".

Ya, memang hanya Dia.

(...)

note: Gambar diambil dari sini..., dengan sedikit pengeditan.

Tidak ada komentar: